Minggu, 27 Desember 2009

Tuntut Pembangunan Jalan, Dua Warga Sawang Ditahan Polisi

Rabu, 9 September 2009 | 17:40 WIB

Laporan wartawan KOMPAS Mahdi Muhammad
BANDA ACEH, KOMPAS.com - Karena menuntut pembangunan dan pengerasan jalan di wilayahnya diteruskan, Teuku Sayed Azhar, warga Desa Kubu (29) dan Ridwan (38), warga Desa Blang Cut, di Kecamatan Sawang, Aceh Utara, Selasa (8/9) dinihari, ditahan Kepolisian Resor Lhokseumawe. Namun, polisi menahannya karena kepemilikan senjata tajam.

Polisi menyangkakan pasal 2 Undang-undang Nomor 12 tahun 1951 tentang senjata api (UU Darurat) terhadap Sayed. Sayed diancam hukuman penjara maksimal 10 tahun

Kuasa hukum tersangka, Zulfikar, ketika dihubungi dari Banda Aceh, Rabu (9/9), mengatakan, sampai hari ini pihak keluarga dan kuasa hukum belum bisa menemui tersangka yang ditahan Polres Lhokseumawe.
"Kami masih berusaha menemui klien di tahanan. Kami juga mengusahakan penangguhan penahanan," tuturnya.

Zulfikar menuturkan, peristiwa penahanan terhadap kliennya terjadi pada Selasa (8/9) dinihari. Saat itu, Sayed ditemani Ridwan, hendak ke warung untuk mencari popok untuk anaknya. K arena lokasi warung cukup jauh, menggunakan sepeda motor, keduanya berboncengan ke arah Desa Kuta Bate, di kecamatan yang sama.

Di tengah jalan, saat mereka melintasi rumah Camat Sawang, ada kerumunan massa. Keduanya pun dipanggil ke tengah-tengah kerumunan di depan rumah camat. Namun, tidak lama kemudian, keduanya dikeroyok oleh massa itu tanpa alasan yang jelas, tutur Zulfikar.

Demi keselamatan diri, keduanya menyelamatkan diri ke kantor Kepolisian Sektor Sawang. Zulfikar menyatakan, Sayed sempat menitipkan senjata tajam miliknya ke salah satu ketua pemuda setempat. "Namun, entah bagaimana, polisi menyangkanya dengan kepemilikan senjata tajam," tuturnya.

Camat Sawang, Sufyan, tidak bisa dikonfirmasi mengenai hal ini. Telepon selulernya tidak diangkat saat dihubungi.
Zulfikar menduga, penahanan yang tidak semestinya ini terkait dengan tuntutan warga kecamatan ini agar proses pembuatan jalan aspal di wilayah ini segera diselesaikan. Sejak beberapa bulan lalu, warga menuntut agar pembuatan jalan diselesaikan. Tapi, sampai sekarang realisasinya tidak ada, tutur Koordinator Lembaga Bantuan Hukum Pos Lhokseunawe ini.

Tuntut Pengerasan Jalan
Darwin, salah satu warga Sawang, ketika dihubungi mengatakan, sejak beberapa bulan lalu, warga kecamatan ini melakukan demonstrasi dengan cara memblokir jalan. Aksi ini, katanya, didukung pihak musyawarah pimpinan kecamatan. Aksi ini merupakan upaya masyarakat untuk mendesak pemerintah kabupaten Ac eh Utara dan pemenang tender proyek pembangunan jalan di kecamatan tersebut agar pelaksanaan di lapangan tidak berlarut-larut.

Awal Agustus lalu, saat Kompas berkunjung ke wilayah sawang, beberapa drum bekas dan papan yang digunakan pada saat aksi pemblokiran, masih belum disingkirkan dari jalan. Sebagian besar jalan di kawasan Sawang masih berupa lapisan pasir dan batu. Belum dilakukan pengerasan dan pengaspalan.

Sayed, ditemui di rumahnya, beberapa waktu lalu, mengatakan, warga sudah beberapa kali meminta kepada pemerintah daerah untuk segera dilakukan pengaspalan. Namun, meski sudah ada perusahaan pemenang tender pengaspalan, hingga pertengahan September ini, kegiatan tersebut belum dilaksanakan juga. Kalau siang hari, debu beterbangan. Sebab, jalannya belum diaspal. Kasihan warga yang sering menggunakan jalan itu, tuturnya.

Zulfikar mengaku agak heran dengan sangkaan yang dibuat polisi kepada kliennya. Namun, dirinya juga menegaskan, pihaknya akan mengajukan tuntutan kepada orang-orang yang melakkan pengeroyokan terhadap Sayed dan Ridwan. Itu tindak pidana, katanya.
Diposkan oleh acehbaru di 03:28 0 komentar Link ke posting ini

Cinta Syahwat


(Tanggapan untuk Hasan Basri M.Nur)
Tgk. Mahfudh Muhammad - Opini
23 December 2009, 09:47

Serambie News-Cinta adalah rahmat Allah swt. Namun jika salah digunakan akan menjadi laknat. Dengan cinta pula pada ulama salaf sanggup menulis berjuta halaman karya tanpa bantuan media teknologi. Sebaliknya, dengan cinta pula seseorang rela menjual agamanya dengan harga yang sangat rendah karena syhawat harta, tahta dan wanita. Hitler mampu membunuh berjuta nyawa manusia karena cintanya.

Cinta adalah motivator paling dahsyat di planet bumi. Allah swt telah menggambarkan dalam firman-Nya (Q.S, Ali Imkran:14) “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini (hubb al-syahawat), yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).

Adakah korelasi antara syahwat kepada wanita, anak dan harta. Dan apa yang diingini (syahwat) tersebut laksana pisau bermata dua; membahagiakan atau mencelakakan. Manusia dapat menjadi orang-orang yang bahagia dengan sebab syahwatnya. Sebaliknya, manusia dapat terjerumus ke lembah nista juga dengan syahwatnya. Karenanya, manusia diwajibkan untuk “mengendarai” syahwatnya sesuai dengan “juklak” atau petunjuk pelaksanaan yang telah dilegitimasi oleh “Sang Pencipta” syahwat. Apabila suatu “kendaraan” dikendarai secara serampangan, maka akibatnya adalah “kecelakaan”.

Untuk syahwat terhadap wanita, Allah swt mensyariatkan pernikahan. Ini juklak Ilahi yang membawa keberkatan dalam kehidupan dan mendatangkan ketenangan dan ketentraman (Q.S, al-Rum: 21).Lewat pernikahan dapat melahirkan generasi yang bermoral dan bermartabat. Karenanya syhawat pada wanita tidak boleh dikendarai dengan menabrak “rambu-rambu” Ilahi, seperti dengan perzinaan dan pergaulan bebas. Itu sebabnya Allah swt sangat mengecam perilaku perzinaan dengan hukuman rajam dan jilid. Sebab makin banyak perzinaan berarti semakin besar pula ketidaktentraman dalam masyarakat.

Betapa banyak manusia yang melahirkan “anak-anak haram” yang suatu saat mereka akan “memangsa” uang rakyat. Betapa banyak manusia yang membiarkan pendidikan moral dan agama anaknya tumbuh bagaikan “binatang” yang tak bertuan yang suatu saat akan menjadi “tikus-tikus berdasi” yang berdansa di atas penderitaan rakyat. Untuk mewujudkan kecintaan terhadap harta, Allah swt mensyariatkan mu’amalah (transaksi) yang berlangsung secara suka rela (QS. al-Nisa’ : 29), sehingga mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan . Dengan kemakmuran, manusia dapat melaksanakan ibadah murni (mahdhah), seperti ibadah haji, maupun ibadah sosial (ghair mahdhah), seperti zakat, wakaf, hadiah dan hibah. Harta yang digunakan untuk beberapa ibadah sosial ini akan menjadi investasi yang sangat berharga bagi kemajuan agama Islam.

Demikian pula kecintaan pada harta jika berbenturan hokum ilahi, seperti mencuri dan korupsi, maka hasilnya kemelaratan dan kesenjangan sosial. Maka sangat wajar bila Allah mengecam perilaku itu dengan memotong tangan pelakunya. Karena korupsi uang negara, maka rakyat terzalimi. Nah, ketiga syahwat ini (wanita, anak dan harta) memiliki korelasi timbal balik.

Qanun jinayat dan korupsi
Sangat irrasional, jika ada sebagian kalangan seperti ditulis Hasan Basri M. Nur (Serambi/ 4 & 20/12/09) yang menganggap qanun jinayat dan peraturan berpakaian yang diterapkan di Aceh akan menggambarkan Islam sebagai agama yang hanya mengurus “barang” di antara pusat dan lutut dan mengabaikan aspek yang berhubungan dengan harta, seperti korupsi uang rakyat.

Apakah mungkin kita memisahkan dua syahwat (wanita dan harta) yang disebutkan dalam satu ayat oleh Allah secara sekaligus? Keduanya tidak bisa dikontradiksikan sehingga seseorang yang sudah ke masyriq (timur) tidak mungkin lagi ke maghrib (barat) atau sebaliknya. Keduanya seperti siang dan malam-dimana siang berfungsi sebagai waktu untuk menuntut ilmu dan mencari rezeki, dan malam untuk beribadah dan istirahat. Pembuatan “qanun” yang mengatur kegiatan di siang hari jangan dianggap mengabaikan “qanun” di malam hari.

Kedua qanun itu bisa berjalan serentak tanpa saling “menabrak”. Apakah mungkin siang akan “menabrak” malam? Apakah mungkin qanun jinayat dan celana ketat akan “menabrak” qanun korupsi dan manipulasi? Masalahnya adalah qanun korupsi dan manipulasi belum diwacanakan di Aceh. Sedangkan qanun jinayat dan celana ketat sudah lama ingin diimplementasikan. Hal ini membuat sebagian kalangan “curiga” terhadap kebijakan legislatif dan eksekutif, jangan-jangan mereka mengalihkan isu korupsi dengan mengedepankan isu syariat.

Untuk menghilangkan “kecurigaan” ini, saatnya legislatif dan eksekutif baru dapat memproduk qanun korupsi.; Sehingga asumsi bahwa Islam hanya mengurus “barang” antara pusat dan lutut akan terbantahkan secara ilmiah dan terhormat. Dapat dibayangkan bagaimana indahnya jika qanun jinayat dan celana ketat berjalan “mesra” beriringan dengan qanun korupsi dan manipulasi, laksana “pengantin baru” yang akan melahirkan “anak-anak saleh” di bumi Aceh.

Qanun jinayat dan celana ketat akan mengontrol syahwat terhadap wanita dan qanun korupsi dan manipulasi akan mengontrol syahwat terhadap harta benda. Di sisi lain korupsi dapat juga dimasukkan ke dalam qanun jinayat, karena makna jinayat dalam ilmu fiqh lebih luas dari pada makna jinayat yang dipahami di Aceh. Jinayat dalam fiqh juga mencakup hukuman terhadap orang murtad, pembunuh, penzina, peminum khamar dan pencuri (koruptor). Kelima jenis hukuman ini bertujuan untuk memelihara maqashid al-syari’ah yang berupa agama, jiwa, keturunan, akal dan harta yang harus direalisasikan secara proporsional dan professional.

Soal celana ketat, maka “induknya” adalah aurat. Bagaimana menetapkan aturan berpakaian, sedangkan batasan aurat masih diperselisihkan oleh sebagian “intelektual” seperti saudara HBM? Dia masih “meragukan” batasan aurat yang tertera di dalam kitab kuning. Menurutnya, kita harus berijtihad dalam menerapkan batasan baru terhadap aurat sesuai dengan kondisi masa kini.

Apabila saudara HBM tidak ingin menjadikan kitab kuning sebagai pedoman, maka mari kita jadikan “kitab putih” sebagai rujukan. Di dalam “kitab putih” yang dikomandoi oleh ulama kontemporer seperti Abdurrahman al-Jaziri, Yusuf Qardhawi, Wahbah Zuhaili, Abu Zahrah, ‘Abdul Wahhab Khallaf dan Syaikh al-’Utsaimin semuanya sepakat menyatakan bahwa batasan aurat laki-laki adalah antara pusat dan lutut dan aurat perempuan adalah seluruh tubuh, sedangkan muka dan telapak tangan masih diperselisihkan (hal ini berlaku untuk orang merdeka dan di depan umum).

Kesimpulan ulama kontemporer dalam batasan aurat secara umum sama dengan ulama klasik seperti yang tertulis di dalam kitab kuning. Mengapa saudara HBM menyuruh berijtihad terhadap batasan aurat yang secara garis besar sudah disepakati oleh seluruh ulama Islam, kontemporer dan klasik? Apakah saudara HBM mau “keluyuran” sendirian dari ijma’ ulama Islam? Apabila ini memang benar, maka kita sangat “bersyukur” telah lahirnya mazhab baru dalam dunia Islam yang bernama “mazhab HBM”. Atau “jangan-jangan” saudara HBM juga “bertaklid” kepada “ulama” yang bergabung dalam JIL (Jaringan Islam Liberal) yang mengatakan bahwa aurat wanita sebatas payudara dan kemaluan seperti yang terjadi di Eropa.

Bagaimana HBM menganjurkan orang untuk berijtihad sedangkan ia sendiri masih bertaklid? Bagaimana menyuruh orang untuk bersuci sedangkan diri sendiri masih bernajis? Bagaimana menyuruh orang untuk berpakaian sedangkan diri sendiri masih telanjang?. Sungguh besar kemarahan Allah terhadap orang-orang yang mengatakan sesuatu yang ia sendiri tidak mengerjakannya (QS. al-Shaf: 3).

Menurut HBM, konsekuensi dari batasan aurat laki-laki antara pusat dan lutut adalah pejabat harus bercelana pendek ke kantor untuk menghemat biaya negara. Di dalam kitab kuning disebutkan bahwa batasan aurat laki-laki antara pusat dan lutut adalah ketika aman dari fitnah. Apabila terjadi fitnah, seperti adanya wanita non muhrim di dalam suatu tempat, maka aurat laki-laki adalah seluruh tubuh, kecuali muka dan telapak tangan (al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, juz 1, hal. 170).

Logika saudara HBM mengindikasikan bahwa pemahamannya terhadap kitab kuning masih bersifat parsial dan tampaknya ia belum mampu untuk “berijtihad” dalam memahami kitab kuning secara komprehensif. Bagaimana saudara HBM menggembar-gemborkan ijtihad dari Alquran dan hadits, kalau dalam “berijtihad” dari kitab kuning saja masih “nyasar”?

Apabila “kran” ijtihad dibuka tanpa kontrol, maka hasilnya adalah lahirnya “mujtahid prematur” yang memunculkan “fatwa-fatwa cacat” yang abnormal. Hal ini bukan berarti pintu ijtihad sudah tertutup. Ia masih terbuka lebar bagi ulama-ulama yang memiliki kapasitas dan kapabilitas. Mau jadi direktur pada lembaga BRR saja harus memenuhi persyaratan, konon lagi mau menjadi seorang mujtahid. Inilah beberapa “tahafut al-tahafut” saudara HBM. Wallahu a’lam bishshawab.

* Penulis adalah dosen STAI al-Aziziyah Samalanga

Mahasiswa Tuntut Transparansi Unimal


16/11/2009 - 17:14 WIB

LHOKSEUMAWE | ACEHKITA.COM — Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Front Mahasiswa Universitas Malikussaleh (Unimal) Reuleut, Aceh Utara, menggelar aksi demo dan menduduki Biro Rektorat, Senin (16/11). Pendemo menilai rektorat Unimal tidak transparasi dalam pengelolaan manajamen maupun keuangan.

Demo yang dilakukan aktivis muda tersebut mengundang perhatian kalangan mahasiswa, para dosen serta calon wisudawan yang akan diwisudakan besok.

Isbahanur Jurubicara Front Mahasiswa Unimal, kepada wartawan mengatakan, selama ini pengelolaan kampus Unimal masih jauh dari nilai transparansi dan akuntabilitas di semua sektor.

Dia mencontohkan pengutipan uang pengembangan jurusan bisnis senilai Rp 1 juta dari mahasiswa sebagai syarat pendaftaran ulang serta mekanisme drop out yang tidak jelas.

Di samping itu, kata dia, dugaan penyimpangan dana penyelenggaraan MTQ tingkat mahasiswa, kenaikan SPP, beasiswa perekrutan mahasiswa untuk mendapatkan beasiswa sangat tertutup dan tidak dipublikasikan.

Dia juga membeberkan pengelolaan dana hibah kewirausahaan mahasiswa sebesar 1 Milyar yang tidak transparan serta terjadinya pengutipan uang transportasi, begitu juga dana asuransi mahasiswa dan program Penghijauan (pengelolaan anggaran 2003 s/d 2009)

Di samping itu kelompok mahasiswa ini juga menyorot tentang lambannya pembangunan kampus utama di Desa Reuleut serta memprotes kebijakan rektorat yang memberlakukan aktivitas pembelajaran di tempat yang terpisah-pisah.

Untuk itu Front Mahasiswa Universitas Malikussaleh (Unimal) menuntut pihak rektorat agar segera melakukan pertanggungjawaban serta reformasi birokrasi dan manajemen di tubuh unimal. “Kita akan terus melakukan aksi sampai kampus kami terbebas dari berbagai penyimpangan,” ujar Isbahannur.

Sementara itu, menyikapi aksi demo mahasiswa, Kepala Kehumasan Unimal M. Husen, MR, saat dikonfirmasi wartawan mengatakan, pihaknya akan membicarakan dengan rektor Unimal terkait tuntutan yang disampaikan oleh mahasiswa.

“Karena semua persoalan itu dapat diselesaikan dengan baik, jadi kita bicarakan dulu dengan Pak Rektor untuk mencari jalan keluar,” imbuhnya.

Sebelum melancarkan demo, sejumlah mahasiswa yang tergabung dalam Front Mahasiswa Universitas Malikussaleh menerima ancaman dari pihak rektorat. Senin pagi, surat edaran Nomor 1.435/H45/KM/2009 yang ditandatangani Pembantu Dekan bidang Kemahasiswaan, Bakhtiar, mewanti-wanti agar mahasiswa tak terpancing aksi demo.

Di surat edaran itu disebutkan pelarangan bagi mahasiswa terlibat dalam organisasi yang tidak disahkan oleh rektorat dan dekanat. Jika sejumlah larangan dalam edaran tidak digubris mahasiswa, maka rektorat mengancam skorsing, dilarang mengikuti kegiatan akademik, dan drop-out.

BY:
Imran MA

Krisis Identitas di Kampus Tercinta



Sabtu,27 Desember 2009
SUDAH ANGSA TAPI MASIH MERASA ITIK, itulah ungkapan yang mungkin tepat untuk mendeskrikan gaya Mahasiswa berpikir masa kini. Faktanya mahasiswa kini tak peduli lagi dengan kehidupan dan perkembangan kampusnya, padahal jika di pandang dari segi fungsional peran mahasiswa sangatlah penting dalam pengawasi perkembangan demi perkembangan dan apa-apa saja yang terjadi pada kampusnya.
Tapi kini itu semua hanya sejarah dari para pelaku perubahan kampus di masa lalu yang tak ingin kapusnya dikendalikan oleh kebobrokan. Dan kini social force, moral force, agent of change, dan social control hanya menjadi ungkapan terkias dan tak lagi ada dalam benak mahassiswa dewasa ini. Mahasiswa sekarang dapat di bungkam dengan setumpuk duit dan janji-janji dari para elit penguasa Universitas, dampaknya mahasiswa menjadi apatis, oportunis bahkan menjadi borjuis sekalipun.
Seperti halnya mahasiswa, para pemimpin Universitas juga mengalami krisis identitas yang teramat besar. Mereka tak lagi bijak dalam memimpin, kecurangan demi kecurangan terjadi seperti penyalah gunaan uang yang dikelola dan yang menjadi korban dari itu semua adalah mahasiswa. Contoh kecil disamping contoh-contoh lainnya adalah beasiswa misalnya, banyak mahasiswa kurang yang tidak mendapatkan beasiswa padahal itu adalah hak mereka setiap pergantian semester. Contoh lainya adalah dana asuransi bagi mahasiswa yang kecelakaan, musibah dll yang sama sekali tak tersentuh oleh tangan mereka.
Itulah gambaran demokrasi yang diwujudkan oleh sejumlah elit penguasa pimpinan Universitas yang menghuni rektorat. Mereka tak memperdulikan pendapat Abraham Lincoln tentang Demokrasi yang berasal dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat, justru mereka punya bentuk demokrasi sendiri untuk diterapkan.
Lenyaplah sudah Proses Demokrasi Menuju mahasiswa Yang Madani dan Sukses dimasa depan bila pemimpin dan mahasiswanya seperti ini.
Terlepas dari itu, kesadaran diri para mahasiswipun tak dapat dibanggakan lagi, mereka seakan kehilangan jati diri dalam berbusana. Di Universitas yang ada di Aceh misalnya, berbagai bentuk Qanun syariat islam yang di terapkan oleh pemerintah tentang syariat islam tak dihiraukan oleh mereka. Masih banyak para mahasiswi tak mengindahkan aturan berbusana muslim tersebut, di kampus para mahasiswi masih mengunakan celana ketat padahal tata tertip dan aturan kampus tidak membolehkan memakai celana ketat. Bukan hanya dikampus, di jalan-jalan kaum wanita pun tak sedikit yang memperagakan lekuk tubuh mereka dengan menggunakan berbagai jenis pakaian haram itu “pandangan ulama dan masyarakat”.
SUBBAHANALLH

Sabtu, 26 Desember 2009

Korban Pelanggaran HAM di Aceh Pesimistis Kasus Dituntaskan


TEMPO Interaktif, Lhokseumawe - Ratusan korban perang Aceh memperingati Hari Hak Asasi Manusia Sedunia dengan diskusi dan nonton bareng di gedung Hasby Assiddiqi Lhokseumawe, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Kamis (10/12) malam. Mereka banyak mempertanyakan kejelasan penyelesaian kasus pelanggaran HAM Aceh yang telah termuat dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh.

”Dalam UU PA disebutkan pembentukan pengadilan HAM dan komisi kebenaran rekonsiliasi setelah setahun UU tersebut disahkan, tapi hingga kini belum juga di bentuk dan tidak jelas,” ujar Hasbullah, seorang keluarga korban yang terbunuh saat perang.

Sejumlah peserta diskusi yang lain juga pesimistis dengan proses penyelesaian kasus pelanggaran HAM Aceh. Korban tidak yakin proses ini dapat berjalan dengan baik, karena setelah tiga tahun undang-undang itu berjalan belum terlihat itikad baik dari pemerintah daerah dan pusat untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM. Padahal, elemen masyarakat sipil telah mendengungkan agar kasus pelanggaran HAM di Aceh segera dituntaskan melalui mekanisme pengadilan HAM dan Komisi kebenaran dan rekonsiliasi.

Bahkan seorang peserta dengan sangat pesimis mengatakan proses ini tidak mungkin dilakukan, karena mereka harus meminta keadilan sama pelakunya.

BY:
IMRAN MA

GERAKAN MAHASISWA DAN SEJARAH LAHIRNYA GERAKAN

Gerakan mahasiswa di Indonesia adalah kegiatan kemahasiswaan yang ada di dalam maupun di luar perguruan tinggi yang dilakukan untuk meningkatkan kecakapan, intelektualitas dan kemampuan kepemimpinan para aktivis yang terlibat di dalamnya.
Dalam sejarah perjuangan bangsa Indonesia, gerakan mahasiswa seringkali menjadi cikal bakal perjuangan nasional, seperti yang tampak dalam lembaran sejarah bangsa.
Sejarah, 1908
Boedi Oetomo, merupakan wadah perjuangan yang pertama kali memiliki struktur pengorganisasian modern. Didirikan di Jakarta, 20 Mei 1908 oleh pemuda-pelajar-mahasiswa dari lembaga pendidikan STOVIA, wadah ini merupakan refleksi sikap kritis dan keresahan intelektual terlepas dari primordialisme Jawa yang ditampilkannya.
Pada konggres yang pertama di Yogyakarta, tanggal 5 Oktober 1908 menetapkan tujuan perkumpulan : Kemajuan yang selaras buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, serta kebudayaan.
Dalam 5 tahun permulaan BU sebagai perkumpulan, tempat keinginan-keinginan bergerak maju dapat dikeluarkan, tempat kebaktian terhadap bangsa dinyatakan, mempunyai kedudukan monopoli dan oleh karena itu BU maju pesat, tercatat akhir tahun 1909 telah mempunyai 40 cabang dengan lk.10.000 anggota.
Disamping itu, para mahasiswa Indonesia yang sedang belajar di Belanda, salah satunya Mohammad Hatta yang saat itu sedang belajar di Nederland Handelshogeschool di Rotterdam mendirikan Indische Vereeninging yang kemudian berubah nama menjadi Indonesische Vereeninging tahun 1922, disesuaikan dengan perkembangan dari pusat kegiatan diskusi menjadi wadah yang berorientasi politik dengan jelas. Dan terakhir untuk lebih mempertegas identitas nasionalisme yang diperjuangkan, organisasi ini kembali berganti nama baru menjadi Perhimpunan Indonesia, tahun 1925.
Berdirinya Indische Vereeninging dan organisasi-organisasi lain,seperti: Indische Partij yang melontarkan propaganda kemerdekaan Indonesia, Sarekat Islam, dan Muhammadiyah yang beraliran nasionalis demokratis dengan dasar agama, Indische Sociaal Democratische Vereeninging (ISDV) yang berhaluan Marxisme, menambah jumlah haluan dan cita-cita terutama ke arah politik. Hal ini di satu sisi membantu perjuangan rakyat Indonesia, tetapi di sisi lain sangat melemahkan BU karena banyak orang kemudian memandang BU terlalu lembek oleh karena hanya menuju "kemajuan yang selaras" dan terlalu sempit keanggotaannya (hanya untuk daerah yang berkebudayaan Jawa) meninggalkan BU. Oleh karena cita-cita dan pemandangan umum berubah ke arah politik, BU juga akhirnya terpaksa terjun ke lapangan politik.
Kehadiran Boedi Oetomo,Indische Vereeninging, dll pada masa itu merupakan suatu episode sejarah yang menandai munculnya sebuah angkatan pembaharu dengan kaum terpelajar dan mahasiswa sebagai aktor terdepannya, yang pertama dalam sejarah Indonesia : generasi 1908, dengan misi utamanya menumbuhkan kesadaran kebangsaan dan hak-hak kemanusiaan dikalangan rakyat Indonesia untuk memperoleh kemerdekaan, dan mendorong semangat rakyat melalui penerangan-penerangan pendidikan yang mereka berikan, untuk berjuang membebaskan diri dari penindasan kolonialisme.
1928
Pada pertengahan 1923, serombongan mahasiswa yang bergabung dalam Indonesische Vereeninging (nantinya berubah menjadi Perhimpunan Indonesia) kembali ke tanah air. Kecewa dengan perkembangan kekuatan-kekuatan perjuangan di Indonesia, dan melihat situasi politik yang di hadapi, mereka membentuk kelompok studi yang dikenal amat berpengaruh, karena keaktifannya dalam diskursus kebangsaan saat itu. Pertama, adalah Kelompok Studi Indonesia (Indonesische Studie-club) yang dibentuk di Surabaya pada tanggal 29 Oktober 1924 oleh Soetomo. Kedua, Kelompok Studi Umum (Algemeene Studie-club) direalisasikan oleh para nasionalis dan mahasiswa Sekolah Tinggi Teknik di Bandung yang dimotori oleh Soekarno pada tanggal 11 Juli 1925.
Diinspirasi oleh pembentukan Kelompok Studi Surabaya dan Bandung, menyusul kemudian Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia (PPPI), prototipe organisasi yang menghimpun seluruh elemen gerakan mahasiswa yang bersifat kebangsaan tahun 1926, Kelompok Studi St. Bellarmius yang menjadi wadah mahasiswa Katolik, Cristelijke Studenten Vereninging (CSV) bagi mahasiswa Kristen, dan Studenten Islam Studie-club (SIS) bagi mahasiswa Islam pada tahun 1930-an.
Dari kebangkitan kaum terpelajar, mahasiswa, intelektual, dan aktivis pemuda itulah, munculnya generasi baru pemuda Indonesia yang memunculkan Sumpah Pemuda pada tanggal 28 Oktober 1928. Sumpah Pemuda dicetuskan melalui Konggres Pemuda II yang berlangsung di Jakarta pada 26-28 Oktober 1928, dimotori oleh PPPI.
1945
Dalam perkembangan berikutnya, dari dinamika pergerakan nasional yang ditandai dengan kehadiran kelompok-kelompok studi, dan akibat pengaruh sikap penguasa Belanda yang menjadi Liberal, muncul kebutuhan baru untuk menjadi partai politik, terutama dengan tujuan memperoleh basis massa yang luas. Kelompok Studi Indonesia berubah menjadi Partai Bangsa Indonesia (PBI), sedangkan Kelompok Studi Umum menjadi Perserikatan Nasional Indonesia (PNI).
Secara umum kondisi pendidikan maupun kehidupan politik pada zaman pemerintahan Jepang jauh lebih represif dibandingkan dengan kolonial Belanda, antara lain dengan melakukan pelarangan terhadap segala kegiatan yang berbau politik; dan hal ini ditindak lanjuti dengan membubarkan segala organisasi pelajar dan mahasiswa, termasuk partai politik, serta insiden kecil di Sekolah Tinggi Kedokteran Jakarta yang mengakibatkan mahasiswa dipecat dan dipenjarakan.
Praktis, akibat kondisi yang vacuum tersebut, maka mahasiswa kebanyakan akhirnya memilih untuk lebih mengarahkan kegiatan dengan berkumpul dan berdiskusi, bersama para pemuda lainnya terutama di asrama-asrama. Tiga asrama yang terkenal dalam sejarah, berperan besar dalam melahirkan sejumlah tokoh, adalah Asrama Menteng Raya, Asrama Cikini, dan Asrama Kebon Sirih. Tokoh-tokoh inilah yang nantinya menjadi cikal bakal generasi 1945, yang menentukan kehidupan bangsa.
Salah satu peran angkatan muda 1945 yang bersejarah, dalam kasus gerakan kelompok bawah tanah yang antara lain dipimpin oleh Chairul Saleh dan Soekarni saat itu, yang terpaksa menculik dan mendesak Soekarno dan Hatta agar secepatnya memproklamirkan kemerdekaan, peristiwa ini dikenal kemudian dengan peristiwa Rengasdengklok.
1966
Sejak kemerdekaan, muncul kebutuhan akan aliansi antara kelompok-kelompok mahasiswa, diantaranya Perserikatan Perhimpunan Mahasiswa Indonesia (PPMI), yang dibentuk melalui Kongres Mahasiswa yang pertama di Malang tahun 1947.
Selanjutnya, dalam masa Demokrasi Liberal (1950-1959), seiring dengan penerapan sistem kepartaian yang majemuk saat itu, organisasi mahasiswa ekstra kampus kebanyakan merupakan organisasi dibawah partai-partai politik. Misalnya, PMKRI Perhimpunan Mahasiswa Katholik Republik Indonesia dengan Partai Katholik,Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) dekat dengan PNI, Concentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) dekat dengan PKI, Gerakan Mahasiswa Sosialis Indonesia (Gemsos) dengan PSI, Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII) berafiliasi dengan Partai NU, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) dengan Masyumi, dan lain-lain.
Diantara organisasi mahasiswa pada masa itu, CGMI lebih menonjol setelah PKI tampil sebagai salah satu partai kuat hasil Pemilu 1955. CGMI secara berani menjalankan politik konfrontasi dengan organisasi mahasiswa lainnya, bahkan lebih jauh berusaha mempengaruhi PPMI, kenyataan ini menyebabkan perseteruan sengit antara CGMI dengan HMI dan, terutama dipicu karena banyaknya jabatan kepengurusan dalam PPMI yang direbut dan diduduki oleh CGMI dan juga GMNI-khususnya setelah Konggres V tahun 1961.
Mahasiswa membentuk Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI) tanggal 25 Oktober 1966 yang merupakan hasil kesepakatan sejumlah organisasi yang berhasil dipertemukan oleh Menteri Perguruan Tinggi dan Ilmu Pendidikan (PTIP) Mayjen dr. Syarief Thayeb, yakni PMKRI, HMI,PMII,Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI), Sekretariat Bersama Organisasi-organisasi Lokal (SOMAL), Mahasiswa Pancasila (Mapancas), dan Ikatan Pers Mahasiswa (IPMI). Tujuan pendiriannya, terutama agar para aktivis mahasiswa dalam melancarkan perlawanan terhadap PKI menjadi lebih terkoordinasi dan memiliki kepemimpinan.
Munculnya KAMI diikuti berbagai aksi lainnya, seperti Kesatuan Aksi Pelajar Indonesia (KAPI), Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia (KAPPI), Kesatuan Aksi Sarjana Indonesia (KASI), dan lain-lain.
Pada tahun 1965 dan 1966, pemuda dan mahasiswa Indonesia banyak terlibat dalam perjuangan yang ikut mendirikan Orde Baru. Gerakan ini dikenal dengan istilah Angkatan '66, yang menjadi awal kebangkitan gerakan mahasiswa secara nasional, sementara sebelumnya gerakan-gerakan mahasiswa masih bersifat kedaerahan. Tokoh-tokoh mahasiswa saat itu adalah mereka yang kemudian berada pada lingkar kekuasaan Orde Baru, di antaranya Cosmas Batubara (Eks Ketua Presidium KAMI Pusat), Sofyan Wanandi, Yusuf Wanandi ketiganya dari PMKRI,Akbar Tanjung dari HMI dll. Angkatan '66 mengangkat isu Komunis sebagai bahaya laten negara. Gerakan ini berhasil membangun kepercayaan masyarakat untuk mendukung mahasiswa menentang Komunis yang ditukangi oleh PKI (Partai Komunis Indonesia). Setelah Orde Lama berakhir, aktivis Angkatan '66 pun mendapat hadiah yaitu dengan banyak yang duduk di kursi DPR/MPR serta diangkat dalam kabibet pemerintahan Orde Baru. di masa ini ada salah satu tokoh yang sangat idealis,yang sampai sekarang menjadi panutan bagi mahasiswa-mahasiswa yang idealis setelah masanya,dia adalah seorang aktivis yang tidak peduli mau dimusuhi atau didekati yang penting pandangan idealisnya tercurahkan untuk bangsa ini,dia adealah soe hok gie
1974
Realitas berbeda yang dihadapi antara gerakan mahasiswa 1966 dan 1974, adalah bahwa jika generasi 1966 memiliki hubungan yang erat dengan kekuatan militer, untuk generasi 1974 yang dialami adalah konfrontasi dengan militer.
Sebelum gerakan mahasiswa 1974 meledak, bahkan sebelum menginjak awal 1970-an, sebenarnya para mahasiswa telah melancarkan berbagai kritik dan koreksi terhadap praktek kekuasaan rezim Orde Baru, seperti:
• Golput yang menentang pelaksanaan pemilu pertama di masa Orde Baru pada 1972 karena Golkar dinilai curang.
• Gerakan menentang pembangunan Taman Mini Indonesia Indah pada 1972 yang menggusur banyak rakyat kecil yang tinggal di lokasi tersebut.
Diawali dengan reaksi terhadap kenaikan harga Bahan Bakar Minyak (BBM), aksi protes lainnya yang paling mengemuka disuarakan mahasiswa adalah tuntutan pemberantasan korupsi. Lahirlah, selanjutnya apa yang disebut gerakan "Mahasiswa Menggugat" yang dimotori Arif Budiman yang progaram utamanya adalah aksi pengecaman terhadap kenaikan BBM, dan korupsi.
Menyusul aksi-aksi lain dalam skala yang lebih luas, pada 1970 pemuda dan mahasiswa kemudian mengambil inisiatif dengan membentuk Komite Anti Korupsi (KAK) yang diketuai oleh Wilopo. Terbentuknya KAK ini dapat dilihat merupakan reaksi kekecewaan mahasiswa terhadap tim-tim khusus yang disponsori pemerintah, mulai dari Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), Task Force UI sampai Komisi Empat.
Berbagai borok pembangunan dan demoralisasi perilaku kekuasaan rezim Orde Baru terus mencuat. Menjelang Pemilu 1971, pemerintah Orde Baru telah melakukan berbagai cara dalam bentuk rekayasa politik, untuk mempertahankan dan memapankan status quo dengan mengkooptasi kekuatan-kekuatan politik masyarakat antara lain melalui bentuk perundang-undangan. Misalnya, melalui undang-undang yang mengatur tentang pemilu, partai politik, dan MPR/DPR/DPRD.
Muncul berbagai pernyataan sikap ketidakpercayaan dari kalangan masyarakat maupun mahasiswa terhadap sembilan partai politik dan Golongan Karya sebagai pembawa aspirasi rakyat. Sebagai bentuk protes akibat kekecewaan, mereka mendorang munculnya Deklarasi Golongan Putih (Golput) pada tanggal 28 Mei 1971 yang dimotori oleh Arif Budiman, Adnan Buyung Nasution, Asmara Nababan.
Dalam tahun 1972, mahasiswa juga telah melancarkan berbagai protes terhadap pemborosan anggaran negara yang digunakan untuk proyek-proyek eksklusif yang dinilai tidak mendesak dalam pembangunan,misalnya terhadap proyek pembangunan Taman Mini Indonesia Indah (TMII) di saat Indonesia haus akan bantuan luar negeri.
Protes terus berlanjut. Tahun 1972, dengan isu harga beras naik, berikutnya tahun 1973 selalu diwarnai dengan isu korupsi sampai dengan meletusnya demonstrasi memprotes PM Jepang Kakuei Tanaka yang datang ke Indonesia dan peristiwa Malari pada 15 Januari 1974. Gerakan mahasiswa di Jakarta meneriakan isu "ganyang korupsi" sebagai salah satu tuntutan "Tritura Baru" disamping dua tuntutan lainnya Bubarkan Asisten Pribadi dan Turunkan Harga; sebuah versi terakhir Tritura yang muncul setelah versi koran Mahasiswa Indonesia di Bandung sebelumnya. Gerakan ini berbuntut dihapuskannya jabatan Asisten Pribadi Presiden.
1978
Setelah peristiwa Malari, hingga tahun 1975 dan 1976, berita tentang aksi protes mahasiswa nyaris sepi. Mahasiswa disibukkan dengan berbagai kegiatan kampus disamping kuliah sebagain kegiatan rutin, dihiasi dengan aktivitas kerja sosial, Kuliah Kerja Nyata (KKN), Dies Natalis, acara penerimaan mahasiswa baru, dan wisuda sarjana. Meskipun disana-sini aksi protes kecil tetap ada.
Menjelang dan terutama saat-saat antara sebelum dan setelah Pemilu 1977, barulah muncul kembali pergolakan mahasiswa yang berskala masif. Berbagai masalah penyimpangan politik diangkat sebagai isu, misalnya soal pemilu mulai dari pelaksanaan kampanye, sampai penusukan tanda gambar, pola rekruitmen anggota legislatif, pemilihan gubernur dan bupati di daerah-daerah, strategi dan hakekat pembangunan, sampai dengan tema-tema kecil lainnya yang bersifat lokal. Gerakan ini juga mengkritik strategi pembangunan dan kepemimpinan nasional.
Awalnya, pemerintah berusaha untuk melakukan pendekatan terhadap mahasiswa, maka pada tanggal 24 Juli 1977 dibentuklah Tim Dialog Pemerintah yang akan berkampanye di berbagai perguruan tinggi. Namun demikian, upaya tim ini ditolak oleh mahasiswa. Pada periode ini terjadinya pendudukan militer atas kampus-kampus karena mahasiswa dianggap telah melakukan pembangkangan politik, penyebab lain adalah karena gerakan mahasiswa 1978 lebih banyak berkonsentrasi dalam melakukan aksi diwilayah kampus. Karena gerakan mahasiswa tidak terpancing keluar kampus untuk menghindari peristiwa tahun 1974, maka akhirnya mereka diserbu militer dengan cara yang brutal. Hal ini kemudian diikuti oleh dihapuskannya Dewan Mahasiswa dan diterapkannya kebijakan NKK/BKK di seluruh Indonesia.
Soeharto terpilih untuk ketiga kalinya dan tuntutan mahasiswa pun tidak membuahkan hasil. Meski demikian, perjuangan gerakan mahasiswa 1978 telah meletakkan sebuah dasar sejarah, yakni tumbuhnya keberanian mahasiswa untuk menyatakan sikap terbuka untuk menggugat bahkan menolak kepemimpinan
Era NKK/BKK
Setelah gerakan mahasiswa 1978, praktis tidak ada gerakan besar yang dilakukan mahasiswa selama beberapa tahun akibat diberlakukannya konsep Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan (NKK/BKK) oleh pemerintah secara paksa.
Kebijakan NKK dilaksanakan berdasarkan SK No.0156/U/1978 sesaat setelah Dooed Yusuf dilantik tahun 1979. Konsep ini mencoba mengarahkan mahasiswa hanya menuju pada jalur kegiatan akademik, dan menjauhkan dari aktivitas politik karena dinilai secara nyata dapat membahayakan posisi rezim. Menyusul pemberlakuan konsep NKK, pemerintah dalam hal ini Pangkopkamtib Soedomo melakukan pembekuan atas lembaga Dewan Mahasiswa, sebagai gantinya pemerintah membentuk struktur keorganisasian baru yang disebut BKK. Berdasarkan SK menteri P&K No.037/U/1979 kebijakan ini membahas tentang Bentuk Susunan Lembaga Organisasi Kemahasiswaan di Lingkungan Perguruan Tinggi, dan dimantapkan dengan penjelasan teknis melalui Instruksi Dirjen Pendidikan Tinggi tahun 1978 tentang pokok-pokok pelaksanaan penataan kembali lembaga kemahasiswaan di Perguruan Tinggi.
Kebijakan BKK itu secara implisif sebenarnya melarang dihidupkannya kembali Dewan Mahasiswa, dan hanya mengijinkan pembentukan organisasi mahasiswa tingkat fakultas (Senat Mahasiswa Fakultas-SMF) dan Badan Perwakilan Mahasiswa Fakultas (BPMF). Namun hal yang terpenting dari SK ini terutama pemberian wewenang kekuasaan kepada rektor dan pembantu rektor untuk menentukan kegiatan mahasiswa, yang menurutnya sebagai wujud tanggung jawab pembentukan, pengarahan, dan pengembangan lembaga kemahasiswaan.
Dengan konsep NKK/BKK ini, maka peranan yang dimainkan organisasi intra dan ekstra kampus dalam melakukan kerjasama dan transaksi komunikasi politik menjadi lumpuh. Ditambah dengan munculnya UU No.8/1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka politik praktis semakin tidak diminati oleh mahasiswa, karena sebagian Ormas bahkan menjadi alat pemerintah atau golongan politik tertentu. Kondisi ini menimbulkan generasi kampus yang apatis, sementara posisi rezim semakin kuat.
Sebagai alternatif terhadap suasana birokratis dan apolitis wadah intra kampus, di awal-awal tahun 80-an muncul kelompok-kelompok studi yang dianggap mungkin tidak tersentuh kekuasaan refresif penguasa. Dalam perkembangannya eksistensi kelompok ini mulai digeser oleh kehadiran wadah-wadah Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang tumbuh subur pula sebagai alternatif gerakan mahasiswa. Jalur perjuangan lain ditempuh oleh para aktivis mahasiswa dengan memakai kendaraan lain untuk menghindari sikap represif pemerintah, yaitu dengan meleburkan diri dan aktif di Organisasi kemahasiswaan ekstra kampus seperti HMI (himpunan mahasiswa islam), PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia), GMNI (Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia), PMKRI (Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia), GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia) atau yang lebih dikenal dengan kelompok Cipayung. Mereka juga membentuk kelompok-kelompok diskusi dan pers mahasiswa.
Beberapa kasus lokal yang disuarakan LSM dan komite aksi mahasiswa antara lain: kasus tanah waduk Kedung Ombo, Kacapiring, korupsi di Bapindo, penghapusan perjudian melalui Porkas/TSSB/SDSB.
1990
Memasuki awal tahun 1990-an, di bawah Mendikbud Fuad Hasan kebijakan NKK/BKK dicabut dan sebagai gantinya keluar Pedoman Umum Organisasi Kemahasiswaan (PUOK). Melalui PUOK ini ditetapkan bahwa organisasi kemahasiswaan intra kampus yang diakui adalah Senat Mahasiswa Perguruan Tinggi (SMPT), yang didalamnya terdiri dari Senat Mahasiswa Fakultas (SMF) dan Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM).
Dikalangan mahasiswa secara kelembagaan dan personal terjadi pro kontra, menamggapi SK tersebut. Oleh mereka yang menerima, diakui konsep ini memiliki sejumlah kelemahan namun dipercaya dapat menjadi basis konsolidasi kekuatan gerakan mahasiswa. Argumen mahasiswa yang menolak mengatakan, bahwa konsep SMPT tidak lain hanya semacam hiden agenda untuk menarik mahasiswa ke kampus dan memotong kemungkinan aliansi mahasiswa dengan kekuatan di luar kampus.
Dalam perkembangan kemudian, banyak timbul kekecewaan di berbagai perguruan tinggi karena kegagalan konsep ini. Mahasiswa menuntut organisasi kampus yang mandiri, bebas dari pengaruh korporatisasi negara termasuk birokrasi kampus. Sehingga, tidaklah mengherankan bila akhirnya berdiri Dewan Mahasiswa di UGM tahun 1994 yang kemudian diikuti oleh berbagai perguruan tinggi di tanah air sebagai landasan bagi pendirian model organisasi kemahasiswaan alternatif yang independen.
Dengan dihidupkannya model-model kelembagaan yang lebih independen, meski tidak persis serupa dengan Dewan Mahasiswa yang pernah berjaya sebelumnya upaya perjuangan mahasiswa untuk membangun kemandirian melalui SMPT, menjadi awal kebangkitan kembali mahasiswa ditahun 1990-an.
Gerakan yang menuntut kebebasan berpendapat dalam bentuk kebebasan akademik dan kebebasan mimbar akademik di dalam kampus pada 1987 - 1990 sehingga akhirnya demonstrasi bisa dilakukan mahasiswa di dalam kampus perguruan tinggi. Saat itu demonstrasi di luar kampus termasuk menyampaikan aspirasi dengan longmarch ke DPR/DPRD tetap terlarang.
1998
Gerakan 1998 menuntut reformasi dan dihapuskannya "KKN" (korupsi, kolusi dan nepotisme) pada 1997-1998, lewat pendudukan gedung DPR/MPR oleh ribuan mahasiswa, akhirnya memaksa Presiden Soeharto melepaskan jabatannya. Berbagai tindakan represif yang menewaskan aktivis mahasiswa dilakukan pemerintah untuk meredam gerakan ini di antaranya: Peristiwa Cimanggis, Peristiwa Gejayan, Tragedi Trisakti, Tragedi Semanggi I dan II , Tragedi Lampung. Gerakan ini terus berlanjut hingga pemilu 1999

Forum Komunikasi Mahasiswa (FKM)


Gerakan terbentuk pada dasarnya karena ketidak puasan dari seorang individu hingga membentuk sebuah kelompok kerja dengan tujuan apa yang di inginkan tercapai. seperti halnya awal mula gerakan-gerakan front kampus, terlahir dari ketidak puasan akan kondisi,situasi,serta kinerja - kinerja yang tidak sejalan dengan kemauan mahasiswa.

Salah satunya gerakan FKM(Forum Komunikasi Mahasiswa) yang dikenal di kampus Universitas Malikussaleh sebagai Organisasi front yang kritis. Pasalnya FKM telah banyak mengkritisi berbagai institusi, pejabat bahkan tak segan-segan pula mereka mengkritisi kampus sendiri. Gerakan FKM lahir pada tanggal 5 oktober 2007 lalu, yang beranggotakan 5 orang pada masa itu dengan struktur keanggotaan; Herlin(Fakultas Hukum) sebagai ketua, isbahnur(Fakultas Ekonomi),Oji(Fakultas Hukum), dan Bukhari (Fakultas Ekonomi) sebagai anggota serta ferdy(Fakultas Hukum) yang menjadi wakil pada saat itu. awal berdirinya organisasi ini sangat banyak mendapat kecaman dari berbagai Oganisasi legal kampus, salah satunya BEM UM disamping organisasi - organisasi yang lainnya. Namun kecaman itu tidak bertahan lama, faktanya FKM yang tadinya di kecam berumur hanya 1 tahun tapi nyatanya mampu bertahan hingga 3 tahun sudah. Isu demi isu mampu di patahkan dari hari kehari hingga bulan berganti bulan, sampai Forum Komunikasi mahasiswa ini terkenal di seluruh Universitas di indonesia yang punya semangat Revolusioner.

karena merupakan organisasi Ekstrime dan kritis menghadapi persoalan - persoalan, FKM begitu diminati oleh mahasiswa-mahasiswa yang peduli terhadap perubahan. Dan kini FKMberanggotakan puluhan orang, namun yang paling kritis dari anggota lain menurut sumber dari lapangan sebagai berikut:

  • Herlin (Fakultas Hukum) jabatan Dewan
  • Isbahnur Husein (Fakultas Ekonomi) jabatan Ketua
  • Bukhari (FE) jabatan Wakil
  • Remet Sagai (FE) sebagai team advokasi
  • M.agam Khalilullah (Fisip) jabatan Pubdog
  • Ferry Afrizal (Hukum) jabatan Sekjen
  • M. Azwin Reza (FE) jabatan divisi jaringan

Sukses terus ya.......buat FKm dalam dalam menjalankan tugas moralnya,,,