Minggu, 27 Desember 2009

Cinta Syahwat


(Tanggapan untuk Hasan Basri M.Nur)
Tgk. Mahfudh Muhammad - Opini
23 December 2009, 09:47

Serambie News-Cinta adalah rahmat Allah swt. Namun jika salah digunakan akan menjadi laknat. Dengan cinta pula pada ulama salaf sanggup menulis berjuta halaman karya tanpa bantuan media teknologi. Sebaliknya, dengan cinta pula seseorang rela menjual agamanya dengan harga yang sangat rendah karena syhawat harta, tahta dan wanita. Hitler mampu membunuh berjuta nyawa manusia karena cintanya.

Cinta adalah motivator paling dahsyat di planet bumi. Allah swt telah menggambarkan dalam firman-Nya (Q.S, Ali Imkran:14) “Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini (hubb al-syahawat), yaitu wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).

Adakah korelasi antara syahwat kepada wanita, anak dan harta. Dan apa yang diingini (syahwat) tersebut laksana pisau bermata dua; membahagiakan atau mencelakakan. Manusia dapat menjadi orang-orang yang bahagia dengan sebab syahwatnya. Sebaliknya, manusia dapat terjerumus ke lembah nista juga dengan syahwatnya. Karenanya, manusia diwajibkan untuk “mengendarai” syahwatnya sesuai dengan “juklak” atau petunjuk pelaksanaan yang telah dilegitimasi oleh “Sang Pencipta” syahwat. Apabila suatu “kendaraan” dikendarai secara serampangan, maka akibatnya adalah “kecelakaan”.

Untuk syahwat terhadap wanita, Allah swt mensyariatkan pernikahan. Ini juklak Ilahi yang membawa keberkatan dalam kehidupan dan mendatangkan ketenangan dan ketentraman (Q.S, al-Rum: 21).Lewat pernikahan dapat melahirkan generasi yang bermoral dan bermartabat. Karenanya syhawat pada wanita tidak boleh dikendarai dengan menabrak “rambu-rambu” Ilahi, seperti dengan perzinaan dan pergaulan bebas. Itu sebabnya Allah swt sangat mengecam perilaku perzinaan dengan hukuman rajam dan jilid. Sebab makin banyak perzinaan berarti semakin besar pula ketidaktentraman dalam masyarakat.

Betapa banyak manusia yang melahirkan “anak-anak haram” yang suatu saat mereka akan “memangsa” uang rakyat. Betapa banyak manusia yang membiarkan pendidikan moral dan agama anaknya tumbuh bagaikan “binatang” yang tak bertuan yang suatu saat akan menjadi “tikus-tikus berdasi” yang berdansa di atas penderitaan rakyat. Untuk mewujudkan kecintaan terhadap harta, Allah swt mensyariatkan mu’amalah (transaksi) yang berlangsung secara suka rela (QS. al-Nisa’ : 29), sehingga mendatangkan kemakmuran dan kesejahteraan . Dengan kemakmuran, manusia dapat melaksanakan ibadah murni (mahdhah), seperti ibadah haji, maupun ibadah sosial (ghair mahdhah), seperti zakat, wakaf, hadiah dan hibah. Harta yang digunakan untuk beberapa ibadah sosial ini akan menjadi investasi yang sangat berharga bagi kemajuan agama Islam.

Demikian pula kecintaan pada harta jika berbenturan hokum ilahi, seperti mencuri dan korupsi, maka hasilnya kemelaratan dan kesenjangan sosial. Maka sangat wajar bila Allah mengecam perilaku itu dengan memotong tangan pelakunya. Karena korupsi uang negara, maka rakyat terzalimi. Nah, ketiga syahwat ini (wanita, anak dan harta) memiliki korelasi timbal balik.

Qanun jinayat dan korupsi
Sangat irrasional, jika ada sebagian kalangan seperti ditulis Hasan Basri M. Nur (Serambi/ 4 & 20/12/09) yang menganggap qanun jinayat dan peraturan berpakaian yang diterapkan di Aceh akan menggambarkan Islam sebagai agama yang hanya mengurus “barang” di antara pusat dan lutut dan mengabaikan aspek yang berhubungan dengan harta, seperti korupsi uang rakyat.

Apakah mungkin kita memisahkan dua syahwat (wanita dan harta) yang disebutkan dalam satu ayat oleh Allah secara sekaligus? Keduanya tidak bisa dikontradiksikan sehingga seseorang yang sudah ke masyriq (timur) tidak mungkin lagi ke maghrib (barat) atau sebaliknya. Keduanya seperti siang dan malam-dimana siang berfungsi sebagai waktu untuk menuntut ilmu dan mencari rezeki, dan malam untuk beribadah dan istirahat. Pembuatan “qanun” yang mengatur kegiatan di siang hari jangan dianggap mengabaikan “qanun” di malam hari.

Kedua qanun itu bisa berjalan serentak tanpa saling “menabrak”. Apakah mungkin siang akan “menabrak” malam? Apakah mungkin qanun jinayat dan celana ketat akan “menabrak” qanun korupsi dan manipulasi? Masalahnya adalah qanun korupsi dan manipulasi belum diwacanakan di Aceh. Sedangkan qanun jinayat dan celana ketat sudah lama ingin diimplementasikan. Hal ini membuat sebagian kalangan “curiga” terhadap kebijakan legislatif dan eksekutif, jangan-jangan mereka mengalihkan isu korupsi dengan mengedepankan isu syariat.

Untuk menghilangkan “kecurigaan” ini, saatnya legislatif dan eksekutif baru dapat memproduk qanun korupsi.; Sehingga asumsi bahwa Islam hanya mengurus “barang” antara pusat dan lutut akan terbantahkan secara ilmiah dan terhormat. Dapat dibayangkan bagaimana indahnya jika qanun jinayat dan celana ketat berjalan “mesra” beriringan dengan qanun korupsi dan manipulasi, laksana “pengantin baru” yang akan melahirkan “anak-anak saleh” di bumi Aceh.

Qanun jinayat dan celana ketat akan mengontrol syahwat terhadap wanita dan qanun korupsi dan manipulasi akan mengontrol syahwat terhadap harta benda. Di sisi lain korupsi dapat juga dimasukkan ke dalam qanun jinayat, karena makna jinayat dalam ilmu fiqh lebih luas dari pada makna jinayat yang dipahami di Aceh. Jinayat dalam fiqh juga mencakup hukuman terhadap orang murtad, pembunuh, penzina, peminum khamar dan pencuri (koruptor). Kelima jenis hukuman ini bertujuan untuk memelihara maqashid al-syari’ah yang berupa agama, jiwa, keturunan, akal dan harta yang harus direalisasikan secara proporsional dan professional.

Soal celana ketat, maka “induknya” adalah aurat. Bagaimana menetapkan aturan berpakaian, sedangkan batasan aurat masih diperselisihkan oleh sebagian “intelektual” seperti saudara HBM? Dia masih “meragukan” batasan aurat yang tertera di dalam kitab kuning. Menurutnya, kita harus berijtihad dalam menerapkan batasan baru terhadap aurat sesuai dengan kondisi masa kini.

Apabila saudara HBM tidak ingin menjadikan kitab kuning sebagai pedoman, maka mari kita jadikan “kitab putih” sebagai rujukan. Di dalam “kitab putih” yang dikomandoi oleh ulama kontemporer seperti Abdurrahman al-Jaziri, Yusuf Qardhawi, Wahbah Zuhaili, Abu Zahrah, ‘Abdul Wahhab Khallaf dan Syaikh al-’Utsaimin semuanya sepakat menyatakan bahwa batasan aurat laki-laki adalah antara pusat dan lutut dan aurat perempuan adalah seluruh tubuh, sedangkan muka dan telapak tangan masih diperselisihkan (hal ini berlaku untuk orang merdeka dan di depan umum).

Kesimpulan ulama kontemporer dalam batasan aurat secara umum sama dengan ulama klasik seperti yang tertulis di dalam kitab kuning. Mengapa saudara HBM menyuruh berijtihad terhadap batasan aurat yang secara garis besar sudah disepakati oleh seluruh ulama Islam, kontemporer dan klasik? Apakah saudara HBM mau “keluyuran” sendirian dari ijma’ ulama Islam? Apabila ini memang benar, maka kita sangat “bersyukur” telah lahirnya mazhab baru dalam dunia Islam yang bernama “mazhab HBM”. Atau “jangan-jangan” saudara HBM juga “bertaklid” kepada “ulama” yang bergabung dalam JIL (Jaringan Islam Liberal) yang mengatakan bahwa aurat wanita sebatas payudara dan kemaluan seperti yang terjadi di Eropa.

Bagaimana HBM menganjurkan orang untuk berijtihad sedangkan ia sendiri masih bertaklid? Bagaimana menyuruh orang untuk bersuci sedangkan diri sendiri masih bernajis? Bagaimana menyuruh orang untuk berpakaian sedangkan diri sendiri masih telanjang?. Sungguh besar kemarahan Allah terhadap orang-orang yang mengatakan sesuatu yang ia sendiri tidak mengerjakannya (QS. al-Shaf: 3).

Menurut HBM, konsekuensi dari batasan aurat laki-laki antara pusat dan lutut adalah pejabat harus bercelana pendek ke kantor untuk menghemat biaya negara. Di dalam kitab kuning disebutkan bahwa batasan aurat laki-laki antara pusat dan lutut adalah ketika aman dari fitnah. Apabila terjadi fitnah, seperti adanya wanita non muhrim di dalam suatu tempat, maka aurat laki-laki adalah seluruh tubuh, kecuali muka dan telapak tangan (al-Fiqh ‘ala Mazahib al-Arba’ah, juz 1, hal. 170).

Logika saudara HBM mengindikasikan bahwa pemahamannya terhadap kitab kuning masih bersifat parsial dan tampaknya ia belum mampu untuk “berijtihad” dalam memahami kitab kuning secara komprehensif. Bagaimana saudara HBM menggembar-gemborkan ijtihad dari Alquran dan hadits, kalau dalam “berijtihad” dari kitab kuning saja masih “nyasar”?

Apabila “kran” ijtihad dibuka tanpa kontrol, maka hasilnya adalah lahirnya “mujtahid prematur” yang memunculkan “fatwa-fatwa cacat” yang abnormal. Hal ini bukan berarti pintu ijtihad sudah tertutup. Ia masih terbuka lebar bagi ulama-ulama yang memiliki kapasitas dan kapabilitas. Mau jadi direktur pada lembaga BRR saja harus memenuhi persyaratan, konon lagi mau menjadi seorang mujtahid. Inilah beberapa “tahafut al-tahafut” saudara HBM. Wallahu a’lam bishshawab.

* Penulis adalah dosen STAI al-Aziziyah Samalanga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tambah comment kamu ya kawan-kawan, di sini: